Sebagai sebuah proses, pembangunan bukanlah bentuk pekerjaan yang parsial. Lebih dari itu, ia merupakan sebuah kontinuitas yang saling berkait pada setiap tahapannya. Itu sebabnya, kesalahan pada satu tahap pembangunan akan mempengaruhi pelaksanaan pembangunan pada tahap berikutnya. Berbagai kesalahan yang cenderung dibiarkan pada akhrnya akan terakumulasi sebagai bom waktu dari sisi gelap pembangunan, lengkap dengan kompleksitas permasalahannya. Tentunya dengan disertai biaya yang tinggi, baik biaya sosial maupun perhitungan secara ekonomis, untuk mengatasinya.
Akumulasi permasalahan pembangunan itulah yang saat ini tengah dihadapi bangsa ini, tidak terkecuali Pemkot Surabaya. Lihat saja ruwetnya permasalahan PKL yang berlarut-larut, yang dipicu oleh urbanisasi dan persoalan kesempatan kerja yang tersedia. Atau yang baru-baru ini, banjir di sekitar kawasan hunian Wisata Bukit Mas yang ikut “menenenggelamkan” SMP 28.
Selain menimbulkan konflik antara pihak developer dan warga sekitar, peristiwa tersebut membawa ekses yang jauh lebih besar. Tarik ulur yang kemudian berkembang antara eksekutif dan legislatif mengenai rencana relokasi gedung SMP 28, belum lagi keputusan Pemkot untuk menghentikan izin pengembangan kawasan barat Surabaya sebagai buntut peristiwa itu, semakin mengurangi citra dan kredibilitas Pemkot Surabaya. Belum lagi berita tentang rusaknya 21 puskesma yang beru direnovasi padahal pembangunannya telah menghabiskan anggaran sebesar Rp. 6 miliar, serta kasus pembangunan Pusat Grosir Pasar Turi di Jalan Dupak yang melanggar garis sempadan, seolah-olah menunjukkan betapa Pemkot Surabaya kirang becus dalam bekerja.
Seluruh potret buram di atas menggambarkan betapa lemahnya mekanisme monitoring pembangunan yang selama ini dijalankan Pemkot. Sebagai sebuah proses, pembangunan dimulai dari sebuah perencanaan, implementasi, pengawasan hingga pemeliharaan. Masing-masing memiliki tahap tersendiri. Berbagai problem pembangunan yang berkembang belakangan ini membuat kita bertanya ulang, ada apa dengan pembangunan kota ini? Sudahkah ia direncanakan dengan cermat dan matang? Bagaimana implementasinya? Adakah mekanisme pengawasan yang ketat dan komprehensif? Lantas bagaimana pula dengan pemeliharaannya? Selama ini berbagai informasi tentang itu cenderung tertutup dari mata dan telinga publik. Tahu-tahu, semuanya telah berbuah banyak masalah yang harus ditanggung publik kota ini.
Berkaca pada berbagai cela itu, saatnya bagi Pemkot untuk mengubah pendekatan pembangunannya. Transparansi menjadi syarat mutlak. Tanpa itu, akuntabilitas pemerintah mustahil terbentuk. Tanpa akuntabilitas, partisipasi aktif masyarakat hanya akan muncul bak mimpi di siang bolong. Namun, jika Pemkot belum tergerak untuk memberdayakan, dan bukan memperdayakan, masyarakat dalam setiap aktivitas pembangunan, jangan salahkan masyarakat jika mereka kemudian menjadi acuh tak acuh dengan kondisi kotanya. Selamat bertugas, Cak Bambang!
Filed under: goverment | Leave a comment »