• Blog Stats

    • 21,065 hits

Pembangunan: Memberdayakan atau Memperdayakan Masyarakat?

Sebagai sebuah proses, pembangunan bukanlah bentuk pekerjaan yang parsial. Lebih dari itu, ia merupakan sebuah kontinuitas yang saling berkait pada setiap tahapannya. Itu sebabnya, kesalahan pada satu tahap pembangunan akan mempengaruhi pelaksanaan pembangunan pada tahap berikutnya. Berbagai kesalahan yang cenderung dibiarkan pada akhrnya akan terakumulasi sebagai bom waktu dari sisi gelap pembangunan, lengkap dengan kompleksitas permasalahannya. Tentunya dengan disertai biaya yang tinggi, baik biaya sosial maupun perhitungan secara ekonomis, untuk mengatasinya.

Akumulasi permasalahan pembangunan itulah yang saat ini tengah dihadapi bangsa ini, tidak terkecuali Pemkot Surabaya. Lihat saja ruwetnya permasalahan PKL yang berlarut-larut, yang dipicu oleh urbanisasi dan persoalan kesempatan kerja yang tersedia. Atau yang baru-baru ini, banjir di sekitar kawasan hunian Wisata Bukit Mas yang ikut “menenenggelamkan” SMP 28.

Selain menimbulkan konflik antara pihak developer dan warga sekitar, peristiwa tersebut membawa ekses yang jauh lebih besar. Tarik ulur yang kemudian berkembang antara eksekutif dan legislatif mengenai rencana relokasi gedung SMP 28, belum lagi keputusan Pemkot untuk menghentikan izin pengembangan kawasan barat Surabaya sebagai buntut peristiwa itu, semakin mengurangi citra dan kredibilitas Pemkot Surabaya. Belum lagi berita tentang rusaknya 21 puskesma yang beru direnovasi padahal pembangunannya telah menghabiskan anggaran sebesar Rp. 6 miliar, serta kasus pembangunan Pusat Grosir Pasar Turi di Jalan Dupak yang melanggar garis sempadan, seolah-olah menunjukkan betapa Pemkot Surabaya kirang becus dalam bekerja.

Seluruh potret buram di atas menggambarkan betapa lemahnya mekanisme monitoring pembangunan yang selama ini dijalankan Pemkot. Sebagai sebuah proses, pembangunan dimulai dari sebuah perencanaan, implementasi, pengawasan hingga pemeliharaan. Masing-masing memiliki tahap tersendiri. Berbagai problem pembangunan yang berkembang belakangan ini membuat kita bertanya ulang, ada apa dengan pembangunan kota ini? Sudahkah ia direncanakan dengan cermat dan matang? Bagaimana implementasinya? Adakah mekanisme pengawasan yang ketat dan komprehensif? Lantas bagaimana pula dengan pemeliharaannya? Selama ini berbagai informasi tentang itu cenderung tertutup dari mata dan telinga publik. Tahu-tahu, semuanya telah berbuah banyak masalah yang harus ditanggung publik kota ini.

Berkaca pada berbagai cela itu, saatnya bagi Pemkot untuk mengubah pendekatan pembangunannya. Transparansi menjadi syarat mutlak. Tanpa itu, akuntabilitas pemerintah mustahil terbentuk. Tanpa akuntabilitas, partisipasi aktif masyarakat hanya akan muncul bak mimpi di siang bolong. Namun, jika Pemkot belum tergerak untuk memberdayakan, dan bukan memperdayakan, masyarakat dalam setiap aktivitas pembangunan, jangan salahkan masyarakat jika mereka kemudian menjadi acuh tak acuh dengan kondisi kotanya. Selamat bertugas, Cak Bambang!

Good Governance: Sebuah Harapan

Seiring dengan arus deras reformasi yang melanda negara ini pasca jatuhnya rezim Orde Baru, berkembang pula satu terminologi dalam manajemen pemerintahan, yang mewarnai agenda politik bangsa ini. Terminologi itu tak lain adalah good governance. Kita pun sebagai masyarakat, mau tak mau, menjadi akrab dengan istilah ini. Betapa tidak, good governance pada gilirannya tampil sebagai salah satu wacana politik yang sering didengungkan oleh pemerintah, termasuk pimpinan daerah, guna meraih hati rakyat.

Namun, satu pertanyaan yang layak kita ajukan, apakah kita sejatinya telah cukup memahami makna terminologi tersebut? Apakah kita sudah mengetahui akar serta latar belakang kemunculannya? Ataukah wacana itu mewujud hanya dalam batas istilah, sebagai pemanis retorika pemerintah yang kering akan makna? Pertanyaan ini terutama ditujukan bagi para birokrat sebagai pihak yang paling sering mempromosikan wacana good governance.

Jika ditarik lebih jauh, lahirnya wacana good governance berakar dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada praktik pemerintahan, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralistis, non-partisipatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik, telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati kepada rezim pemerintahan yang ada. Masyarakat tidak puas dengan kinerja pemerintah yng selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Beragam kekecewaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan tersebut pada akhirnya melahirkan tuntutan untuk mengembalikan fungsi-fungsi pemerintahan yang ideal. Good governance tampil sebagai upaya untuk memuaskan dahaga publik atas kinerja birokrasi yang sesungguhnya.

Ada banyak sekali definisi tentang good governance. Definisi yang paling umum adalah  kepemerintahan yang baik. Sementara World Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi, baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

Sebagai aktivitas memerintah, good governance memenuhi empat aspek. Pertama, prinsip keadilan sosial, termasuk di dalamnya sistem pengadilan yang independen dan tidak pandang bulu. Kedua, kebebasan ekonomi beserta pemerataan hasil pembangunan. Ketiga, kemajemukan politik yang ditandai dengan partisipasi masyarakat dan prinsip equity (kesamaan). Sementara keempat, adalah prinsip akuntabilitas pemerintah.

Dalam implementasinya, konsep good governance tidaklah semudah membalik telapak tangan. Namun hal ini bukan berarti tidak mungkin. Pilkada yang baru saja berlalu dapat kita jadikan tonggak untuk menghadirkan citra pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Memang, terlalu dini jika kita membuat penilaian atas kepemimpinan pasangan Bambang DH – Arief Affandi yang baru berjalan selama masa 100 hari. Tapi rentang waktu itu sudah cukup bagi kita untuk ingin melihat indikasi profil pemerintahan yang hendak dibangun oleh keduanya, apakah akan menuju kepada good governance, atau malah sebaliknya. Masing-masing dari kita dapat menilainya. Selamat bertugas, Cak Bambang!

 

 

Menanti Janji “Menuntaskan Program yang Tertunda”

Sebagai sebuah proses yang kontinyu, pelaksanaan pembangunan tak pernah kenal kata berhenti. Pembangunan akan terus berjalan seiring dengan perkembangan dinamika dan kompleksitas persoalan serta kebutuhan hidup manusia. Bagaimana membaca kecenderungan perubahan yang terjadi berikut upaya-upaya mengantisipasinya, telah menjadi PR besar bagi pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan warga kota Surabaya.

Karenanya, pembangunan disusun dengan pola yang terencana dan cermat serta komprehensif berdasarkan jangka waktu tertentu, baik jangka panjang, menengah, dan juga jangka pendek. Keberhasilan pembangunan pun ditentukan oleh tiga hal pokok, yaitu perencanaan yang matang, institusi yang mumpuni dan profesional, serta aspek keuangan.

Meskipun demikian, di sana-sini masih sering dijumpai sisi gelap pembangunan kota, yang menyisakan beragam masalah baru yang lebih kompleks dan krusial dari yang telah ada sebelumnya. Baik dari efek berantai yang diakibatkan oleh pembangunan yang kurang terencana, maupun oleh pelaksanaan pembangunan yang tak pernah tuntas.

Untuk menyebutkan berbagai program pembangunan yang tertunda pun, bukanlah pekerjaan sulit. Terlebih untuk kota sebesar Surabaya. Pemkot Surabaya sejatinya masih memiliki begitu banyak “tunggakan” pembangunan yang harus segera dilunasi. Lihat saja proses tarik-ulur pelepasan aset Pemkot, seperti GOR Pancasila dan Kolam Renang Brantas. Belum lagi masalah aset Pemkot hasil kerjasama dengan pihak swasta.

Sederetan masalah lain juga dapat dijumpai pada kepastian penguasaan cargo terminal yang stagnan, masalah transportasi kota, revitalisasi lahan bekas pompa bensin di jalur hijau, reklame liar, jalan tol tengah, THR yang terlantar, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang memprihatinkan, taman-taman kota yang terlantar, tanah makam, Pasar Keputran, pelayanan publik yang mengecewakan, pola pengendalian pembangunan yang tidak jelas, banjir, PKL, masalah lingkungan, penataan kawasan Ampel serta beragam persoalan kota lainnya.

Apa penjelasan pemerintah atas seluruh program pembangunan yang tertunda itu? Memang ini bukanlah tugas mudah untuk menuntaskan semuanya secara instan. Namun, paling tidak, ada agenda yang jelas dan transparan yang telah disusun guna menyelesaikan berbagai tanggungan pembangunan tersebut berdasarkan skala prioritas. Dalam upaya ini, Pemkot tidak dapat bekerja sendiri. Partisipasi aktif dari swasta dan msyarakat juga harus dilibatkan.

 

Publik kota ini tengah menagih janji dari pasangan Bambang – Arief untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan yang tertunda sebagaimana yang sering didengungkan saat Pilkada yang lalu. Semoga janji-janji itu tidak hanya retorika politik semata guna meraih simpati pemilih, namun juga berlanjut dalam unjuk kerja yang nyata guna mendulang kepercayaan publik kota atas kepemimpinan keduanya. Selamat bertugas, Cak Bambang!